Latest News

Perbedaan Ibnu Rusyd dan Ghazali


Perbedaan Ibnu Rusyd dan Ghazali
Awal Cerita.

Ibnu Rusyd menuduh bahwa apa yang ditulis al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah bertentangan dengan apa yang ditulisnya mengenai tasawwuf. Dalam buku pertama (hal. 28, dst) semua orang Islam menyakini kebangkitan jasmani. Sedang dalam buku kedua ia mengatakan, pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah kebangkitan rohani dan bukan kebangkitan jasmani tidak dapat dikafirkan (Baca Ibnu Rusyd, Fash al-Maqal, hal. 16-17). Padahal al-Ghazali mendasarkan pengkafirannya kepada ijma’ ulama.

Al-Ghazali merupakan tokoh penentang dan penyanggah falsafa (filsafat Islam) yang paling brilian. Oliver Leaman dalam Pengantar Filsafat Islam menulis bahwa Al-Ghazali seringkali menyerang para filsuf dengan dasar argumen yang mereka pergunakan sendiri, sambil menyampaikan pendapatnya secara filosofis dengan menyatakan bahwa tesis-tesis utama mereka adalah tidak benar dilihat dari sudut-sudut dasar logika itu sendiri.

Sebagai contoh, dalam bukunya The Incoherence of the philosophers (Tahafut al-Falasifah), Al-Ghazali membentangkan dua puluh pernyataan yang ia coba buktikan kesalahannya. Tujuh belas di antaranya menimbulkan bid’ah karena dianggap menyimpang dari ajaran yang asli, yakni Alquran. Dan, tiga di antaranya benar-benar membuktikan apa yang ia ka tegorikan sebagai orang yang tidak beriman, bahkan dengan tuduhan yang lebih berat lagi. Mengenai pandangan yang keliru dari para filsuf ini, Al-Ghazali mengungkapkan pendapatnya sebagaimana ia paparkan dalam bukunya yang berjudul Munqidh min adh-Dhalal bahwa “kekeliruan para filsuf terdapat dalam ilmu-ilmu metafisik. Karena ternyata mereka tidak dapat memberikan bukti-bukti yang pasti menurut persyaratan yang mereka perkirakan ada dalam logika. Maka, dalam banyak hal mereka berbeda pendapat dalam persoalan-persoalan metafisik. Ajaran Aristoteles tentang masalah-masalah ini, sebagaimana yang dilansir oleh Farabi dan Ibnu Sina, mendekati inti pokok ajaran filsafat Islam”. Salah satu filsuf Muslim yang mendapat kritikan dari Al-Ghazali adalah Ibnu Rusyd. Menurut Leaman, silang pendapat antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd sangat menarik karena argumen-argumen yang disampaikan oleh keduanya selalu melahirkan masalah-masalah khusus yang bersifat kontroversial. Contohnya adalah perdebatan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd tentang penciptaan alam.

Tentang penciptaan alam, Al-Ghazali mempunyai konsep yang sangat berbeda dari konsepsi yang dimiliki para filsuf Muslim. bagi para filsuf Muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Menurut mereka, alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali/qadim. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam. Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta, kemudian baru menciptakan alam, menurut para filsuf Muslim, menunjukkan berubahnya Tuhan. Tuhan, menurut mereka, mustahil berubah, dan oleh sebab itu mustahil pula Tuhan berubah dari pada awalnya tidak atau belum mencipta, kemudian mencipta. Dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali terhadap paham qadim-nya alam, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham itu tidak bertentangan dengan ajaran Alquran. Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Alquran (QS 11: 7; QS 41: 11; dan QS 21: 30) dapat diambil simpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada (al-’adam), tapi dari sesuatu yang telah ada. Ia mengungkapkan hal ini dalam kitabnya Tahafut Tahafut al-Falasifah (Kehancuran bagi Orang yang Menghancurkan Filsafat). Selain itu, ia mengingatkan bahwa paham qadim-nya alam tidaklah harus membawa kepada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau dijadikan oleh Tuhan. Sementara itu, menurut Sulaiman Dunya dalam pengantarnya tentang “Al-Ghazali: Biografi dan Pemikirannya”, dalam Terjemahan Tahafut al-Falasifah, karya Al-Ghazali ini belum menggambarkan secara keseluruhan pemikiran Al-Ghazali. Sebab, komentar AlGhazali tentang kehancuran para filsuf ini, kata Sulaiman, sebelum ia mendapatkan pencerahan petunjuk mengenai `ketersingkapan tabir sufistik’ (al-kasyf ash-Shufiyyah). Maksudnya, secara keseluruhan AlGhazali menerima pemikiran filsafat selama pandangan itu sesuai dengan pandangan Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW.

saudaraku…. Tentang Alam yang Qadim versi Ibnu Rusyd Ibnu Rusyd : “Alam itu qadim sedikitpun tidak dipahami bahwa alam itu ada dengan sendirinya”… Al Ghazali  Adalah Mistikus Sufi Penyanggah Filsafat Bagi Ibnu Rusyd, paham bahwa alam itu qadim sedikitpun tidak dipahami bahwa alam itu ada dengan sendirnya ! Menurut Ibnu Rusyd, alam itu qadim justru karena Tuhan mencipatakannya sejak azali/qadim Bagi ibnu rusyd, mustahil Tuhan itu ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya kemudian baru menciptakan alam Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta kemudian mencipta kemudian baru mencipta menurut Ibnu Rusyd menunjukkan berubahnya Tuhan.. Padahal Tuhan menurut Ibnu Rusyd mustahil berubah dari awalnya tidak atau belum mencipta kemudian mencipta Memang, antara kaum teolog dan filosof terdapat perbedaan tentang arti al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog al-ihdats mengandung arti menciptakan dari “tiada” (creatio ex nihilo), sedang bagi kaum filosof berarti menciptakan dari “ada”. Kata Ibnu Rusyd, ‘adam (tiada) tidak akan bisa berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adalah “wujud’ berubah menjadi “wujud” dalam bentuk lain. Oleh karena itu, materi asal, yang dari padanya alam disusun, mesti qadim. Dan materi pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh (pancaran). Tentang qadimnya alam atau dalam bahasa filsafat azalinya alam, menurut Ibnu Rusyd itu hanya perselisihan mengenai penamaan saja. Sebab kita bersepakat tentang adanya tiga wujud yaitu; pertama, wujud yang terjadi dari sesuatu selain dirinya, dan oleh sesuatu yang lain serta dari sesuatu bahan tertentu dan wujud ini didahului oleh waktu. Inilah wujud benda-benda seperti air, tanah dst. Kedua, lawannya adalah wujud yang adanya tidak berasal dari, maupun disebabkan oleh sesuatu yang lain serta tidak pula didahului oleh waktu. Inilah wujud al-Qadim. Baik yang pertama dan kedua tidak ada perbedaan antara umat, perbedaan itu pada wujud ketiga yaitu, wujud yang tidak terjadi berasal dari sesuatu serta tidak pula didahului oleh waktu, tetapi terwujud oleh sesuatu, yakni oleh  disini berkenaan dengan waktu yang lalu dan wujud yang lalu. Plato berpendapat waktu dan wujud yang lalu adalah terbatas. Aristoteles sebaliknya berpendapat bahwa waktu dan wujud yang lalu tidak terbatas, sama halnya dengan waktu dan wujud mendatang. Wujud ini memiliki segi persamaan dengan wujud muhdats dan wujud al-Qadim. Maka mereka yang terkesan dengan persamaan wujud qadim akan menamakannya qadim pula, begitu pun mereka yang terkesan dengan wujud muhdats akan menamakan muhdats pula. Makna – makna diatas menurut Ibnu Rusyd tidak bertentangan dengan al-Quran, sebab tidak ada perselisihan dalam menempatkan bahwa Allah adalah pencipta alam keseluruhan ini. Jadi menurut filsuf, qadimnya alam tidak sama dengan qadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-‘adam), adalah mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada tidak bisa terjadi sesutau, oleh karena itu materi asal alam ini mesti kadim. Memperkuat pandangan ini, Ibnu Rusyd mengutip penjelasan al-Quran, surat Hud ayat 7, yang makna lahiriah ayat mengatakan bahwa terdapat wujud sebelum wujud ini, yaitu singgasana dan air. Begitu pula dikaitkan dengan bentuk wujud ini yang berupa bilangan gerak falak (Ibrahim: 48). Maka disini Ibnu Rusyd membuktikan paham qadim-nya alam tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran. Untuk memperkuat argumentasi rasionalnya itu, Ibn Rusyd mengutip Q.S. Hud ayat 7 yang berbunyi: وهوالذي خلق السموات والارض فى ستة ايام وكان عرشه علىالماءليبلوكم ايكم احسن عملا (هود: ) Artinya: “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Q.S. Huud: 7) Menurut Ibn Rusyd, ayat tersebut mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi, telah ada wujud lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasan Tuhan. Juga dalam surat al Anbiya’: 30 yang berbunyi: اولم يرالذين كفرواان السموات والارض كانتا رتقا ففتقنهما وجعلنا من الماء كل شيء حي افلا يوءمنون (الانبياء : ) Artinya: “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (Q.S. al Anbiya’: 30) Dari ayat-ayat di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan, telah ada benda lain, yang diberi nama “air”. Dalam ayat lain disebut “uap”. Antara “air” dan “uap” cukup berdekatan, maka bumi dan langit itu dijadikan dari “uap” atau “air”, dan bukan dari ketiadaan Perdebatan panjang antara Al-Ghazali dan Ibn Rusyd, kiranya tidak akan pernah usai. Karena keduanya memiliki pengikut setia dalam mempertahankan pendapat-pendapat dari kedua pemikir Islam tersebut. Dalam buku Filsafat Islam karya Dr. Hasyimsyah Nasution, MA., apabila kita melihat daftar isi dalam buku itu, asal pemikiran kedua tokoh tersebut sangat bersebrangan. Al-Ghazali adalah sebagai golongan filsafat Islam di dunia Islam Timur, sedangkan Ibn Rusyd adalah sebagai salah satu pemikir dari golongan filsafat Islam di dunia Islam Barat. Walau pun kita tidak membaca keseluruhan, hanya melihat dari pembagian dalam daftar isi dalam buku itu, kita sudah menilai bahwa pemikir Islam Timur dan Barat jelas-jelas akan mengalami perbedaan pendapat satu dengan yang lainnya. Melaui buku Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pemikiran Para Filsuf), Al-Ghazali melancarkan kritik keras terhadap para filsuf dalam 20 masalah. Tiga dari masalah tersebut, menurut Al-Ghazali, dapat menyebabkan kekafiran: yaitu, qidamnya alamTuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, dan tidak adanya pembangkitan jasmani. Ibn Rusyd, begitu juga para filsuf lainnya, berpendapat bahwacreatio ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam), atau kekosongan, tidak mungkin berubah menjadi ada (al-wujud). Yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain. Pendapat ini didukung oleh beberapa ayat Alquran yang mengandung pengertian bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada. Seperti ayat berikut: Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya… Ayat ini, menurut Ibn Rusyd, mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang di atasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, dan adanya masa sebelum masa diciptakannya langit dan bumi. Tegasnya, sebelum langit dan bumi diciptakan, telah ada air, tahta, dan masa. Bukti dari Tuhan menciptakan alam ini dari sesatu yang “ada” dapat dibuktikan melalui beberapa ayat diantaranya :
 1. Al Qur’an Surat Hud, ayat 7, yang mengatakan secara garis besar bahwa sebelum ada wujud langit dan bumi telah ada wujud lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, ditegaskan lagi bahwa langit dan bumi diciptakan setelah ada air, tahta dan masa. 
2. Al Qur’an surat Fushilat, ayat 11, dikatakan bahwa Tuhan menciptakan bumi dalam 2 masa, menghiasi bumi dengan gunung dan diisi dengan berbagai macam makanan, kemudian Tuhan naik ke langit yang masih merupakan uap, sehingga ditakwilkan langit tercipta dari uap. 
3. Al Qur’an Surat Al Anbiya’, ayat 30, dikatakan bahwa bumi dan langit pada mulanya adalah satu unsur yang sama kemudian dipecah menjadi 2 benda yang berlainan. 
4. Al Qur’an surat Ibrahim, ayat 47 – 48, disini menunjukkan bahwa alam ini sifatnya kekal yaitu dikatakan bahwa langit dan bumi akan ditukarkan dengan bumi dan langit yang lain, dan sekaligus membuktikan bahwa alam ini terwujud dan perwujudannya melalui proses yang terus menerus. 

Untuk menengahi pendapat bahwa alam ini qadim maka Ibnu Rusyd mengatakan bahwa sebenarnya antara filusuf dan ahli syari’ah telah sepakat bahwa ada tiga macam wujud, yang berkaitan dengan hal ini , yaitu : 
1. Wujud Baru/ karena sebab sesuatu, yaitu dari sesuatu yang lain dan karena sesuatu, yakni zat pembuat dan dari benda, ini adalah benda yang kejadiannya bisa terlihat oleh panca indera, seperti terjadinya air, udara, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. 

2. Wujud Qadim/ tanpa sebab sesuatu, yaitu wujud yang bukan dari sesuatu, tidak karena sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman, wujud ini dapat diketahui dengan bukti-bukti pikiran, seperti Tuhan.

 3. Wujud Antara, yaitu wujud yang terletak di antara kedua wujud ini, wujud yang bukan dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman tetapi wujud karena sesuatu, yaitu zat pembuat, dan wujud itu adalah alam keseluruhannya Dari keterangan diatas maka dapat dilihat bahwa kejadian alam ada kalanya terjadi dengan adanya hubungan sebab akibat, Al Ghazali mengingkari hal ini, sebaliknya Ibn rusyd menyetujui adanya hubungan sebab akibat, hal ini ia ambil dari Aristoteles tentang sebab pokok, yaitu : 1. ‘Illah maddiyah (sebab akibat yang berkaitan dengan benda) 
2. ‘Illah Shuwariyyah (Sebab akibat yang berkaitan dengan bentuk/form) 
3. ‘Illah fa’ilah (sebab akibat yang berkaitan dengan daya guna) 
4. ‘Illah gha’iyyah (sebab akibat yang berkaitan dengan tujuan) 

Siapakah sebenarnya yang dihinggapi kerancuan, al-Ghazali atau para filosof (al-Farabi dan Ibnu Sina)? Itulah poin yang mengemuka dalam diskusi seri pertama Tadarus Ramadlan 2007/1428 Jaringan Islam Liberal (JIL) yang bertajuk Mari Mengaji Al-Ghazali. Dalam seri pertama ini, kitab al-Ghazali yang dikaji adalah Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filosof). Narasumber malam itu (Selasa, 18/9/2007), terdiri dari: Dr. Zainun Kamal, Dr. Mulyadhi Kartanegara, dan Dr. Luthfi Assyaukanie, yang sekaligus memberi prakata sebagai koordinator JIL yang baru sebelum diskusi berlangsung. Pertanyaan di atas dijawab oleh Luthfi—yang sebenarnya tampil sebagai pembicara ketiga—dengan tegas: al-Ghazali-lah yang mengalami kerancuan, persis seperti yang diisyaratkan oleh judul kitab Ibnu Rusyd, Tahâfut at-Tahâfut (Rancunya [Kitab] Kerancuan). Luthfi memberi makna yang beragam pada kata kerancuan yang diatributkan kepada al-Ghazali. Al-Ghazali dianggap mengalami kerancuan, misalnya, karena sebenarnya ia tidak mengerti secara sungguh-sungguh persoalan-persoalan filsafat-metafisis yang ia tuliskan dalam kitabnya, Tahâfut al-Falâsifah. Bahkan Luthfi mencurigai bahwa kitab al-Ghazali yang lain, yaitu Maqâshid al-Falâsifah, sebenarnya bukan karya otentik al-Ghazali. “Maqâshid al-Falâsifah adalah buku terjemahan, atau paling jauh hanya parafrase dari buku lain,” tukas Luthfi. Karenanya, yang sebenarnya dilakukan al-Ghazali adalah memukul sesuatu yang salah. Luthfi memberi contoh tentang isu ba’ts al-jasad (kebangkitan ragawi) dan pengetahuan Tuhan tentang juz’iyyât (hal-hal yang partikular) yang dipersoalkan al-Ghazali. Menurut Luthfi, sebenarnya para filosof sebelum al-Ghazali tidak berbicara tentang dua masalah tersebut persis seperti yang dikemukakan al-Ghazali. Dua masalah tersebut hanya hasil asumsi al-Ghazali belaka. Lebih lanjut, Luthfi menyebut al-Ghazali rancu, juga karena perspektif yang digunakannya dalam kitabnya, Tahâfut al-Falâsifah, adalah perspektif polemis (jadalî), bahkan kadang terjatuh pada level khatthâbi (retoris), dan bukan perspektif kaum filosof, yakni perspektif burhânî (demonstratif). “Kita tahu,” lanjut Luthfi, “bahwa perspektif polemis (jadalî) adalah perspektif para teolog, bukan perspektif filosof. Padahal yang ia target dengan kitabnya adalah para filosof dan persoalan-persoalan filosofis-metafisis! Ini kan rancu?!” tegas Luthfi. Luthfi juga menekankan bahwa sejak awal sampai akhir hayatnya, prototipe al-Ghazali sebenarnya adalah seorang sufi. Statemen ini ia simpulkan dari sebuah film semi dokumenter tentang al-Ghazali, garapan sineas Iran, The Alchemist of Happiness (Kimiya’ al-Sa’adah). Jadi inti-diri al-Ghazali sebenarnya adalah seorang sufi. Karena itu, bila dia mencoba masuk ke zona lain, maka hasilnya adalah kerancuan. Begitulah yang hendak dimaksudkan oleh statemen Luthfi di atas. Makanya, tatkala al-Ghazali mencoba bicara tentang persoalan filosofis-metafisis, ia selalu kembali lagi kepada dalil-dalil Alqur’an guna menopang pendiriannya; seolah-olah dzihniyyah (mentalitas) kesufiannya mengekang dirinya untuk menggunakan akalnya untuk bermain pada level burhânî, sebagaimana yang dilakukan para filosof. “Makanya, dalam meng-counter al-Ghazali, Ibn Rusyd pun menggunakan cara-cara al-Ghazali. Karena al-Ghazali senantiasa kembali kepada Alqur’an untuk menopang posisi ortodoksinya, maka Ibnu Rusyd pun melakukan hal yang sama, mengais-ngais ayat Alqur’an untuk mendukung posisi filosofisnya. Dan “celakanya”, Ibnu Rusyd juga mendapatkan ayat-ayat yang bisa mendukung posisi filosofisnya. Karena Alqur’an, sebagaimana entitas lain, adalah laksana dua sisi satu keping koin. Dan dengan cara begitulah Ibnu Rusyd merasa lebih nyaman dan berhasil dalam meng-counter al-Ghazali, daripada harus capek-capek berargumen secara burhânî. Toh pada akhirnya al-Ghazali lagi-lagi kembali kepada dalil-dalil Alqur’an,” kelakar Luthfi. Contoh yang dikemukakan Luthfi malam itu misalnya soal keazalian alam (azaliyyat al-`alam). Perspektif Ibn Rusyd adalah ex-creatio, penciptaan dari sesuatu yang ada sebelumnya. Hebatnya, Ibnu Rusyd juga menemukan ayat Alqur’an yang mendukung perspektif ex-creatio. Misalnya ayat, wa huwa al-ladzî khalaqa al-samâwâti wa al-‘ardla fi sittati ayyam wa kâna`‘arsyuhu ‘ala al-mâ’i (Q.S. Hud, 11:7). Juga ayat, awalam yara al-ladzîna kafaru ‘anna al-samâwâti wa al-ardla kânatâ ratqan fafataqnâhumâ wa ja`alna min al-mâ’i kulla syai’in hayyan (Q.S. Al-Anbiya’, 21:30). Artinya pada “waktu” itu, ada Allah dan ada air. Dan sebelum Socrates, sudah ada seorang filosof, yaitu Thales, yang meyakini bahwa substansi segala sesuatu bermula dari air. Juga ayat, tsumma istawa ila al-samâ’i wa hiya dukhân (Q.S. Fushshilat, 41:11). Jadi pada “saat” itu, situasinya tidak nihil sama sekali, tapi ada dukhan (asap/uap). Dan kebetulan ada juga filosof pra-Socrates, yakni Anaximenes yang sudah meyakini bahwa dunia ini bermula dari uap, sesuatu yang humid (lembab). Juga secara semantis, menurut Ibnu Rusyd, kata khalaqa itu selalu dipakai dalam konteks penciptaan sesuatu dari sesuatu lainnya yang sudah ada, dan itu berarti ex-creatio. Untuk itu, Ibnu Rusyd mengutip ayat, wa laqad khalaqna al-insana min sulâlatin min thîn (Q.S. Al-Mukminun, 23:12). Luthfi juga mengkritik struktur atau sistematika penulisan kitab Tahafut Al-Falasifah yang menurutnya tidak proporsional, sebab pembahasan tentang azaliyyatul ‘alam (keazalian alam) mengambil porsi sampai seperempat kitab. Sembilan belas masalah lainnya hanya mendapat porsi sisanya, bahkan ada salah satu item masalah yang hanya dibahas dalam satu-dua halaman saja. Selain itu, Luthfi juga meragukan riwayat tentang periode skeptisisme Al-Ghazali. Menurut Luthfi, sebenarnya al-Ghazali tidak pernah mengalami skeptisisme serius seperti para filosof Ibn Sina, al-Farabi, Ibnu Rusyd, dan lain-lain. “Skeptisisme itu hanya proyeksi al-Ghazali atas dirinya sendiri, seolah-olah ia pernah mengalami masa dlalal (ketersesatan),” ujar Luthfi. Proyeksi itu ia lakukan, ujung-ujungnya untuk mendukung posisi ortodoksinya; seolah-olah ia seorang warrior of God (tentara Tuhan). Malam itu memang penuh kritik dari Luthfi atas al-Ghazali. Menjelang akhir diskusi, Luthfi baru membuka “kartu”, kenapa ia begitu “gerah” terhadap al-Ghazali. Dia mengatakan, ada semacam mekanisme dalam dirinya yang secara otomatis melakukan respon resisten terhadap figur yang dielu-elukan—baik oleh dia sendiri maupun orang lain—secara berlebihan. Dan dia sendiri mengaku pernah menjadi simpatisan al-Ghazali ketika dua tahun belajar di Malasyia, di bawah bimbingan Dr. Naguib Al-Attas. Bahkan Luthfi memperingatkan sikap dasar al-Ghazali yang amat berbahaya, yaitu takfir (pengkufuran terhadap orang lain) yang bisa diikuti preskripsi al-qatl (perintah bunuh). Sebab, mayoritas umat Islam memposisikan al-Ghazali sebagai hujjatul Islâm (jubir agama Islam).

Itulah kenapa praktek apostasi, menganggap orang lain murtad, terus saja berkembang di dunia Islam sampai sekarang ini. Luthfi kemudian beranjak membahas item-item masalah yang diulas al-Ghazali dalam Tahâfut al-Falâsifah, yang berjumlah dua puluh masalah. Enam belas masalah metafisik dan empat masalah non-metafisik (fisik). Dalam tujuh belas masalah dari dua puluh tadi, al-Ghazali menuduh para filosof telah melakukan bid’ah. Dan dalam tiga masalah, al-Ghazali menganggap para filosof telah keluar dari Islam, alias kafir. Tiga masalah krusial tersebut adalah ke-kadiman alam, Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular, dan penolakan filosofis akan adanya kebangkitan jasmani. Untuk penjelasan item- item ini, Luthfi tidak berkomentar banyak. Hanya sedikit item yang ia ulas, di antaranya tentang azaliyyat al-‘alam (pre-eternity alam). Selain itu, Luthfi juga menyinggung sedikit tentang masalah abadiyyat al-‘alam (post-eternity alam). Dalam perspektif al-Ghazali, post-eternity alam itu tidak mungkin. Tetapi dalam pandangan Ibnu Rusyd, post-eternity itu ada dalilnya di dalam Alqur’an sendiri. Makanya ia mengutipkan ayat, yauma tubaddalu al-ardlu ghaira al-ardli wa al-samâwâtu wa barazu lilLâhi al-wâhid al-qahhâr (Q.S. Ibrahim, 14:48). Zainun Kamal–yang malam itu tampil sebagai pembicara pertama—juga tak luput mengkritik al-Ghazali dengan perspektif yang berbeda dari Luthfi. Zainun mengatakan bahwa al-ghazali-lah yang telah ikut berperan dalam membendung pemikiran rasional di dalam Islam. Universitas Nizhamiyah yang berdiri pada masanya juga ikut menjadi institusi yang menghambat pemikiran rasional Islam. Sebab yang boleh dipelajari di kampus itu, dalam bidang fikih hanya fikih Al-Syafi’i, dalam bidang teologi adalah teologinya al-Asy’ari, dan dalam bidang pemikiran adalah pemikiran al-Ghazali. “Dan inilah cermin dunia Islam sampai saat ini,” jelas Zainun. “Padahal, pada abad ke-8 M sampai abad ke-12 M, dunia Islam mengalami masa keemasannya,” sesal Zainun. Zainun pun lalu menyarankan, “Mestinya yang lebih banyak kita pelajari adalah Ibnu Rusyd. Al-Ghazali itu kita pelajari secara sambil lalu saja. Karena al-Ghazali ini sudah jadi darah daging kita semenjak dari pesantren. Tidak belajar al-Ghazali pun, sejak kita lahir, wajah kita sudah al-Ghazali,” kelakar Zainun. Ia juga menambahkan bahwa lahirnya kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din, telah memungkasi riwayat pemikiran rasional di dunia Islam dan hanya menghidupkan ilmu-ilmu agama; sesuai nama kitab tersebut. Dan al-Ghazali berpendapat bahwa ilmu agama wajib dipelajari secara individual, orang per orang (fardlu ‘ain). Berbeda dengan ilmu dunia, yang bagi al-Ghazali hanya fardlu kifayah; kalau sudah ada pihak yang meng-handle, gugur sudah kewajiban kita untuk mempelajarinya. “Kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din ini kan simbol pemikiran tasawuf; dan itu melemahkan dunia Islam. Lebih parah lagi, setelah al-Ghazali, pemikiran tasawuf diperkuat oleh Ibnu ‘Arabi. Tamatlah riwayat pemikiran rasional di dunia Islam,” pungkas Zainun. Di akhir presentasinya, Pak Zainun mengutip pendapat almarhum Nurcholish Madjid dan Hassan Hanafi. Dari Hassan Hanafi, ia mengutip bahwa semestinya kita umat Islam beralih dari “persoalan langit” ke “persoalan bumi” (min al-sama’ ila al-ardl), dan juga beralih dari menghidupkan ilmu-ilmu agama ke arah menghidupkan ilmu-ilmu dunia yang sekuler (min ihya’ ‘ulum al-din ila ihya’ ‘ulum al-dunya). Dari Cak Nur, Zainun mengutip ungkapan berikut: di dunia timur, pemikiran al-Ghazali begitu mendominasi, sedang di dunia barat, yang lebih banyak berpengaruh adalah pemikiran Ibnu Rusyd. Karena itu, kalau dunia barat menjajah timur”, kata Cak Nur, “itu tidak lebih dari simbol penjajahan Ibnu Rusyd terhadap al-Ghazali.” Berbeda dari dua pembicara lainnya, Mulyadhi Kartanegara yang malam itu tampil sebagai pembicara kedua, mengambil posisi yang fair terhadap al-Ghazali. Bahkan terkadang membantah kritikan atas Al-Ghazali oleh dua pembicara lainnya, sembari membela al-Ghazali. Ketika dua pembicara lainnya mengatakan al-Ghazali sebenarnya tidak memahami apa yang ia mau kritik, Mulyadhi justru membantah. “Kenapa Tahafut al-Falâsifah begitu berhasil? Itu tidak lain karena sebenarnya al-Ghazali memang paham apa yang dia mau kritik,” kata Mulyadi. Ia lalu menambahkan bahwa dari kitab al-Ghazali lainnya, Al-Munqidz min al-Dlalâl, sebenarnya kita tahu posisi “epistemologis” al-Ghazali, yaitu: janganlah mengkritik sesuatu kalau anda belum memahami betul apa yang mau anda kritik. Mulyadhi juga menjelaskan kenapa kritik al-Ghazali terhadap para fisosof lewat Tahâfut al-Falâsifah tidak tepat sasaran–seperti dikatakan Luthfi—tapi tetap berhasil dan menang. “Itu tak lain karena kebanyakan dari kita cara berpikirnya masih teologis, bukan filosofis,” jelas Mulyadhi. Posisi fair Mulyadhi terhadap al-Ghazali nampak juga tatkala ia menyatakan sekaligus menyarankan, “jangan ikuti ¬ qaul-nya dong, tapi ikuti manhaj-nya.” Mulyadhi menambahkan, “kalau ada qaul (pendapat) al-Ghazali yang kurang tepat, ya kritik saja, sebab itulah manhaj (metode) yang al-Ghazali sarankan sendiri.” Di akhir presentasinya, Mulyadi menjelaskan bahwa memang sosok al-Ghazali ibarat dua sisi dari satu keping koin. Ia bisa punya pengaruh destruktif dan konstruktif sekaligus. Destruktif, terutama untuk perkembangan filsafat peripatetik. Perdebatan di atas sebenarnya adalah perdebatan antara para filsuf dan Al-Ghazali. bukan antara Ibn Rusyd dan Al-Ghazali. Namun, adanya pendidikan yang dikenyam Ibn Rusyd adalah dari para filsuf atau bahkan “kebencian” Ibn Rusyd terhadap Al-Ghazali, maka Ibn Rusyd tidak tinggal diam dengan kecaman Al-Ghazali terhadap para filsuf. Perdebatan Al-Ghazali dan Ibn Rusyd pun terjadi. , tetang qadimnya alam Adapun langit dan bumi susunannya adalah baru (hadis ). Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibn Rusyd tidak membawa kepada politeisme atau ateisme, karena qadim dalam pemikiran falsafat bukan hanya berarti sesuatu yang tidak diciptakan, tetapi juga berarti sesuatu yang diciptakan dalam keadaan terus menerus, mulai dari zaman tak bermula di masa lampau sampai ke zaman tak berakhir di masa mendatang. Jadi Tuhan qadim berarti Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah pencipta dan alam qadim berarti alam diciptakan dalam keadaan terus menerus dari zaman tak bermula ke zaman tak berakhir . Dengan demikian sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapi adalah ciptaan Tuhan. Bahwa alam yang terus menerus dalam keadaan diciptakan ini tetap akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur’an. Ayat 47/8 dari surat Ibrahim menyebut: Janganlah Sangka bahwa Allah akan menyalahi janji bagi rasul-rasulNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberi balasan di hari bumi ditukar dengan bumi yang lain dan ( demikian pula) langit. Di hari perhitungan atau pembalasan nanti, tegasnya di hari kiamat, Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang lain dan demikian pula langit sekarang akan ditukar dengan langit yang lain. Konsep ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi dan langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi materi asat api, udara, air dan tanah kembali dari keempat unsur ini Tuhan akan menciptakan bumi dan langit yang lain lagi. Bumi dan langit ini akan hancur pula, dan dari materi asalnya akan diciptakan pula bumi dan langit yang lain dan demikianlah seterusnya tanpa kesudahan. Dengan demikian al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan filosof dalam falsafat mereka tentang qadimnya alam.


0 Response to "Perbedaan Ibnu Rusyd dan Ghazali"