Latest News

TESIS STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF


(KODE : PASCSARJ-0161) : TESIS STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF (PROGRAM STUDI : ILMU KOMUNIKASI)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana demokrasi yang menjadi ajang bagi kedaulatan rakyat. Dalam negara demokratis, pemilu yang notabene merupakan cerminan suara rakyat menjadi penentu bagi keberlangsungan sebuah negara untuk menentukan nasib dan tujuan sebuah bangsa. Suara-suara inilah yang akan diwadahi oleh partai politik-partai politik yang mengikuti pemilu menjadi wujud wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemilihan Umum menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada tahun 2009 bangsa Indonesia telah mengadakan pemilihan umum untuk kesepuluh kalinya. Pelaksanaan pemilu secara periodik menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem negara demokrasi. Sejak Pemilihan Umum tahun 1999 Indonesia telah dianggap sebagai negara terbesar ketiga yang menyelenggarakan pemilihan umum secara demokratis. Pemilihan umum ini menjadi wahana aspirasi politik rakyat Indonesia yang digelar setiap lima tahun sekali, sebagai amanat dari Undang-Undang Dasar 1945. Pemilu juga menjadi ajang paling massif, bebas, dan adil untuk menentukan partai dan tokoh yang berhak mewakili rakyat. Dalam sistem perwakilan, tak ada cara lain yang paling absah untuk memilih para wakil rakyat kecuali melalui pemilu.
Pemilihan umum legislatif tahun 2009 di ikuti oleh 38 partai politik yang lolos seleksi verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), ditambah enam partai politik lokal di Aceh (www.kpu.go.id/index.php). Adanya banyak partai politik yang mengikuti pemilu 2009, sebagai konsekuensi sistem multipartai yang diterapkan di Indonesia. Terdapatnya banyak partai politik juga berdampak pada ketatnya kompetisi antar partai politik dalam menggaet suara pemilih untuk memperebutkan kursi di parlemen. Keberhasilan sebuah partai politik dalam perolehan suara, membuktikan betapa besarnya dukungan dan kepercayaan rakyat terhadap partai politik tersebut.
Guna memenangkan kompetisi di ajang pemilu, para kontestan partai politik saling bersaing satu sama lain dengan menerapkan berbagai strategi komunikasi politik yang jitu. Tentu, komunikasi politik yang dilakukan oleh partai politik menyesuaikan dengan sistem politik yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, sistem politik mau tidak mau turut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komunikasi yang dilakukan oleh partai politik. Almond (1990 : 34) melihat bahwa komunikasi politik merupakan salah satu masukan yang menentukan bekerjanya semua fungsi dalam sistem politik. Komunikasi politik menyambungkan semua bagian dari sistem politik sehingga aspirasi dan kepentingan dikonversikan menjadi berbagai kebijaksanaan.
Strategi komunikasi politik partai dalam menghadapi pemilu harus menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada tentang pemilu, walaupun perumusan undang-undang itu sendiri sempat menjadi perdebatan panjang antar partai politik, karena terjadi tarik-menarik kepentingan, yaitu bagaimana undang-undang yang dibuat bisa menguntungkan partai politik tertentu. Untuk mengatur pelaksanaan pemilu tahun 2009, maka dibuatlah UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilanm Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pada dasarnya Undang-undang Pemilu tahun 2008 dengan Undang-undang Pemilu tahun 2003 mempunyai kesamaan arti, namun terdapat beberapa pasal yang berbeda isi. Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pasal 107, ayat 2, menyebutkan :
Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu Daerah Pemilihan, dengan ketentuan :
a. nama calon yang mencapai angka BPP ditetapkan sebagai calon terpilih;
b. nama calon yang tidak mencapai angka BPP, penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di daerah
pemilihan yang bersangkutan.
Isi pada UU Pemilu tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pasal 107, ayat 2 di atas hampir sama dengan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pasal 214, ayat 2 yang menyebutkan :
Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan :
a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) suara BPP;
b. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) suara BPP;
c. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) suara BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP;
d. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;
e. Dalam hal tidak ada calon yang memperoleh sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
Perubahan isi pada UU Pemilu tahun 2008 muncul ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi UU No 10 Tahun 2008 tentang pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pasal 214 huruf a.b.c.d.e. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dinyatakan bahwa Pasal 214 huruf a, huruf, b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian penetapan calon legislatif untuk pemilu 2009 ditentukan dengan sistem suara terbanyak bukan berdasarkan nomor urut (Dumadi, 2009).
Perbedaan isi undang-undang pemilu tahun 2003 dan tahun 2008 (setelah keluarnya putusan MK) inilah yang diduga berimplikasi terhadap strategi komunikasi politik partai politik dalam menghadapi pemilu legislatif 2009. Dengan demikian masing-masing partai politik dalam strategi komunikasi politiknya cenderung mengalami perubahan dibanding pada pemilu 2004, karena harus menyesuaikan dengan aturan perundang-undangan yang ada. Secara prinsip, sistem pemilu yang digunakan dalam pemilu 2009 adalah sistem pemilu yang lebih demokratis berdasarkan kebutuhan peningkatan derajat keterwakilan dan geopolitik Indonesia.
Implikasi dari perbedaan isi UU Pemilu tahun 2003 dan tahun 2008 adalah ada dua hal. Pertama, UU Pemilu tahun 2003 berdampak pada aktifnya peran partai politik dalam berkampanye dan berkomunikasi politik dibandingkan calon anggota legislatifnya. Kedua, UU Pemilu tahun 2008 berimbas pada lebih aktifnya para calon anggota legislatif dalam kampanye dan berkomunikasi politik dibandingkan partai politik itu sendiri. Kenyataan inilah yang dapat dilihat dan ditemukan pada pemilu tahun 2009. Para calon anggota legislatif saling jor-joran menggelontorkan dana dan tenaga bahkan kelewat batas dalam beriklan dan berkampanye memperebutkan suara pemilih. Kondisi ini terjadi karena para calon anggota legislatif menyadari bahwa penetapan calon didasarkan para suara terbanyak bukan nomor urut, oleh sebab itu tidak bisa hanya mengandalkan pada partai politik dalam berkampanye.
Implikasi lain dari perbedaan isi Undang-undang Pemilu tahun 2003 dengan tahun 2008 adalah pola strategi penggunaan media oleh partai politik. Sebagaimana diketahui bahwa belanja iklan politik yang dilakukan oleh partai politik dan pemerintah tahun 2009 naik 100 persen, yaitu sebesar Rp. 800 milyar dibanding pada pemilu 2004 sebanyak Rp. 400 milyar (www.okezone.com). perbedaan inilah yang disinyalir bahwa sebuah Undang-undang dapat mempengaruhi terhadap keputusan partai politik dalam berkomunikasi melalui media dalam kampanye pemilihan umum.
Penggunaan media sangatlah penting dalam proses kampanye dan sosialisasi politik pada pemilu. Menurut Pawito (2009 : 91) "Dalam konteks politik modern, media massa bukan hanya menjadi bagian yang integral dari politik, tetapi juga memiliki posisi yang sentral dalam politik." Dengan sifatnya yang massif, media massa menjadi kekuatan yang besar dalam menginformasikan pesan-pesan politik dari partai politik. Dengan karakter yang dimilikinya, media menjadi kekuatan yang bisa menyatukan isu dan opini di masyarakat dengan memberikah arah ke mana mereka harus harus berpihak dan prioritas-prioritas apa yang harus dilakukan. Dengan kemampuannya media dapat memberi semangat, menggerakkan perubahan, dan memobilisasi masyarakat untuk suatu tujuan.
Salah satu kontestan pada pemilu legislatif 2009 adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS merupakan partai dakwah yang berazaskan islam. Pada pemilu 1999 nama PKS adalah partai keadilan (PK) tetapi karena tidak memenuhi ambang batas 2% sebagai syarat mengikuti pemilu tahun 2004, maka partai Keadilan berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Kehadiran. PKS -bagi sebagian orang- telah memberi secercah harapan bagi rakyat Indonesia bahwa ada partai yang bermoral (bersih), anti korupsi, dan peduli pada rakyat. PKS juga dinilai mampu menumbuhkan kembali kepercayaan orang pada partai Islam. Indikatornya adalah meningkatnya jumlah konstituten mereka di Pemilu 2004 lalu (Irfan, 2004).
Hasil pemilu 2009 menunjukkan perolehan suara PKS 7.88% atau 8.206.955 suara. Perolehan suara pemilu 2009 ini bagi PKS relatif stabil atau ada kenaikan sedikit dibanding pada pemilu sebelumnya yaitu 7.34% secara Nasional (www.calegindonesia). Dan untuk Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, PKS memperoleh 176,645 suara atau 7 kursi di DPRD Propinsi, dengan tingkat partisipasi pemilih sebanyak 72,95% dalam pemilu 2009 ((www.kpud-diyprov.go.id).
Perolehan suara partai secara Nasional ini menjadi alasan mengapa penelitian ini memilih PKS sebagai studi kasus penelitian tentang strategi komunikasi politik partai politik dalam pemilu legislatif 2009. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa, disaat suara Partai Demokrat naik secara tajam dan partai-partai besar lainnya cenderung mengalami penurunan seperti Partai Golkar, PDIP, PKB, dan PPP, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bisa stabil dengan mempertahan perolehan suaranya seperti pada pemilu 2004. Kenyataan ini juga menimbulkan pertanyaan yang memerlukan jawaban, kiranya strategi apa yang di pakai oleh PKS dalam pemilu legislatif 2009.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana penyikapan Partai Keadilan Sejahtera terhadap perubahan UU. No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD ?
2. Bagaimana strategi komunikasi politik Partai Keadilan Sejahtera sesudah perubahan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD pada pemilu legislatif 2009 ?
3. Bagaimana penggunaan media oleh Partai Keadilan Sejahtera dalam kampanye pemilu legislatif 2009 ?
4. Apa dampak dari penerapan strategi komunikasi politik Partai Keadilan Sejahtera terhadap perolehan suara partai pada pemilu legislatif 2009 ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan mendeskripsikan masalah strategi komunikasi politik partai politik dalam menghadapi pemilu 2009, dengan mengarahkan kajiannya pada :
1. Penyikapan Partai Keadilan Sejahtera terhadap perubahan UU. No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD ?
2. Strategi komunikasi politik Partai Keadilan Sejahtera sesudah perubahan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD pada pemilu legislatif 2009 ?
3. Penggunaan media oleh Partai Keadilan Sejahtera dalam kampanye pemilu 2009.
4. Dampak dari penerapan strategi komunikasi politik Partai Keadilan Sejahtera terhadap perolehan suara partai pada pemilu legislatif 2009.

D. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan ilmu komunikasi, khususnya pada kajian komunikasi politik yang berkaitan dengan strategi komunikasi politik oleh partai politik dalam menghadapi pemilihan umum.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini juga diharapkan bisa bermanfaat sebagai informasi dan bahan masukan bagi para pengurus dan kader partai politik secara umum dan khususnya Partai Keadilan Sejahtera serta masyarakat luas dalam menentukan kebijakan dan strategi komunikasi pada pemilu-pemilu selanjutnya.

0 Response to "TESIS STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF"