Latest News

KEBEBASAN, TANGGUNG JAWAB DAN HATI NURANI

Kumpulan makalah kuliah

Disusun Oleh :

SAHLAN NASUTION

KEBEBASAN, TANGGUNG JAWAB DAN HATI NURANI

A.   Kebebasan
Di antara masalah yang menjadi bahan perdebatan sengit dari sejak dahulu hingga sekarang adalah masalah kebebasan atau kemerdekaan menyalurkan kehendak dan kemauan.

Dalam kaitannya dengan keperluan kajian akhlak, tampaknya pendapat yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan yang akan dilakukannya sendiri. Sementara golongan yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebesan juga akan di bahas di sini dengan menentukannya secara proporsianal.

Kebebasan sebagaimana dikemukukun oleh Achmad Charis Zubair adalah terjadinya apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak di batasi oleh suatu paksaan dari atau keterikatan kepada orang lain.

Paham di sebut bebas negative, karena hanya dinyatakan bebas dari apa, tetapi tidak di tentukan bebas untuk apa. Seseorang di sebut bebas apabila :
·         dapat menentukan sendiri tujuan-tujuan dan apa yang di lakukannya.
·         dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan yang ada baginya.
·         tidak di paksa atau terikat untuk membuat sesuatu yang akan di pilihnya sendiri ataupun di cegah dari berbuat apa yang di pilih sendiri, oleh kehendak orang lain, negara atau kekuasaan apapun.
Selain itu kebebasan meliputi segala macam perbuatan manusia, yaitu kegiatan yang di sadari, disengaja dan dilakukun demi suatu tujuan yang selanjutnya di sebut tindakan.
Dilihat dari segi sifatnya kebebasan dapat di bagi tiga yaitu :

a.     kebebesan jasmani
Yaitu kebebasan untuk mrnggerakkan dan mempergunakan anggota badan yang kita miliki.

b.     kebebesan rohaniah.
Yaitu kebebasan menghendaki sesuatu.Jangkauan kebebasan kehendak adalah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berpikir,karena manusia dapat memikirkan apa saja.

c.     kebebasan moral
Dalam arti luas berarti tidak adanya macam-macam ancaman, tekanan,larangan dan desakan lain yang tidak sampai berupa paksaan fisik.sedangkan dalam arti sempit dikatakan bahwa kebebasan yaitu bebas berbuat apabila terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk berbuat.
Paham adanya kebebasan pada manusia ini sejalan pula dengan isyarat al-Quran. Perhatikan ayat di bawah ini yang artinya :
I.Q.S Al-Kahfi : 29
Artinya : “ katakanlah kebenaran datang dari tuhanmu, siapa yang mau percaya percayalah ia, siapa yang tidak mau janganlah ia percaya “.
II.Q.S Fushilat 41;40
Artinya; “Buatlah apa yang kamu kehendaki,sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat.”

B.   Pengertian Kebebasan
Kaum Mu’tadilah, karena dalam sistem teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas sudah barang tentu menganut paham qadariah atau freewill. Dan memegang mereka juga disebut kaum qadariah.

Keterangan-keterangan di atas dengan jelas mengatakan bahwa kehendak untuk berbuat adalah kehendak manusia. Tetapi selanjutnya tidak jelas apakah daya yang dipakai untuk mewujudkan perbuatan itu adalah pula daya manusia sendiri. Dalam hubungan ini perlu kiranya ditegaskan bahwa untuk terwujudnya perbuatan, harus ada kemauan atau kehendak itu, dan kemudian barulah terwujud perbuatan.

Di sini timbullah pertanyaan, daya siapakah dalam paham mu’tazilah yang mewujudkan perbuatan manusia, daya manusia atau daya Tuhan? Dari keterangan-keterangan mu’tazilah di atas, mungkin dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia dan bukan perbuatan Tuhan, maka daya yang mewujudkan perbuatan itu tak boleh tidak mesti daya manusia sendiri dan bukan daya  Tuhan. Sesungguhnya demikian masih timbul pertanyaan lain. apakah daya manusia sendiri yang mewujudkan perbuatannya ataukah daya Tuhan turut mempunyai bagian dalam mewujudkan perbuatan itu?

Jawaban untuk pertanyaan itu dapat diperoleh dari keterangan ayat-ayat yang dimajukan Abd Al Jabbar, antara lain :

Ayat ini, kata Abd al Jabar, mengandung dua arti, pertama; ahsana berarti ‘berbuat baik’ dan dengan demikian semua perbuatan Tuhan merupakan kebajikan kepada manusia, dan ini tidak mungkin, karena di antara perbuatan-perbuatan Tuhan ada yang tidak merupakan kebajikan, seperti siksaan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan ahsana di sini adalah arti kedua yaitu baik. Semua perbuatan Tuhan adalah baik. Dengan demikian perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena di antara perbuatan-perbuatan manusia terdapat perbuatan-perbuatan jahat.

Sementara aliran Asy’ariah memandang bahwa kebebasan manusia itu lemah, kelemahan tersebut dikarenakan kehendak manusia itu banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia  dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan, al Asy’ari memakai kata al-Kasb (alquisition, perolehan). Al-Kasb atau iktisab ini menurut al-Asy’ari ialah bahwa sesuatu itu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan adanya perbuatan itu timbul. Term-term “diciptakan’ dan ‘memperoleh’ ini mengandung kompromi atau kelemahan manusia diperbandingkan kekuasaan mutlak Tuhan, dan pertanggung jawaban manusia atas perbuatan-perbuatannya.

Dari uraian al-Asy’ari ini jelaslah bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, Tuhanlah yang menjadi pembuat sebenarnya dari perbuatan-perbuatan manusia. Oleh karena itu dalam teori kasb sebenarnya tidaklah ada perbedaan antara al Kasb dengan perbuatan involunter dari manusia. Pembuat dalam hal ini seperti ditegaskan oleh al-Asy’ari sendiri adalah Tuhan; dan selanjutnya dalam kedua hal itu, manusia hanya merupakan tempat berlakunya perbuatan-perbuatan Tuhan.

Keterangan al-Asy’ari ini juga mengandung arti bahwa daya untuk berbuat sebenarnya bukanlah daya manusia, tetapi daya Tuhan.

C.   Pembentukan Kebebasan Manusia

Mu’tazilah
Dalam paham kaum mu’tazilah, kemauan atau kebebasan manusia untuk mewujudkan perbuatannya adalah kemauan dan daya manusia sendiri dan taka turut campur di dalamnya kemauan dan daya Tuhan. Oleh karena itu perbuatan manusia adalah sebenarnya perbuatan manusia dan bukan perbuatan Tuhan.

Untuk memperkuat paham tersebut, kaum mu’tazilah membawa argumen-argumen rasional dan ayat-ayat Al-Qur’an. Ringkasan argumen-argumen rasional yang dimajukan oleh Abd al-Jabbar umpamanya, adalah sebagai berikut:  manusia dalam berterima kasih atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima kasihnya kepada manusia yang berbuat kebaikan itu. Demikian pula dalam melahirkan perasaan tidak senang atas perbuatan-perbuatan tidak  baik yang diterimanya manusia menyatakan rasa tidak senangnya kepada orang yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tidak baik itu. Sekiranya perbuatan-perbuatan baik atau buruk adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, tentunya rasa terima kasih dan rasa tidak senang itu akan ditujukan manusia kepada Tuhan dan bukan kepada manusia.

Seterusnya perbuatan-perbuatan manusia terjadi sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri. Jika seseorang ingin berbuat sesuatu, perbuatan itu terjadi. Tetapi sebaliknya, jika seseorang ingin tidak akan terjadi. Jika sekiranya perbuatan manusia bukanlah perbuatan manusia, tetapi perbuatan Tuhan, maka perbuatannya tidak akan terjadi, sungguhpun ia mengingini dan menghendaki perbuatan itu, atau perbuatannya akan terjadi sungguhpun ia tidak mengingini dan tidak menghendaki perbuatan itu.

Lebih lanjut lagi sekiranya manusia berbuat jahat terhadap sesama manusia. Jika sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, perbuatan jahat itu mestilah perbuatan Tuhan dan Tuhan dengan demikian bersifat zalim.

Dalam hal ini dapat dipahami bahwa bentuk kebebasan manusia dalam berbuat sangat mutlak, ini disebabkan karena manusia mempunyai daya untuk mewujudkan keinginan-keinginannya dan bukan daya Tuhan, sebab daya Tuhan tidak mempunyai bagian dalam perbuatan-perbuatan manusia.

Al-Asy’ari
Berbeda  dengan kaum mu’tazilah, paham al-Asy’ari berpendapat bahwa bentuk kebebasan manusia tidak mutlak, bahwa manusia adalah tempat belakunya pembuatan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan mengambil tempat dalam diri manusia.

Pembuat sebenarnya dari berbagai macam perbuatan itu, adalah Tuhan dan manusia hanyalah merupakan alat untuk berlakunya perbuatan Tuhan. Dalam hal perbuatan itu manusia terpaksa melakukan apa yang dikehendaki Tuhan.

Dalam persoalan kehendak Tuhan, al-Asy’ari menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki. Ayat yang dipakai untuk memperkuat pendapat tersebut adalah :
Oleh al-Asy’ari diartikan bahwa manusia tak bisa menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia supaya menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu.

Jadi daya atau kebebasan manusia sangatlah terbatas, sebab untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya manusia sangat tergantung pada kehendak Tuhan. Ini jelas mengandung arti kehendak manusia atau kebebasan manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan. Dan bahwa kehendak yang ada dalam diri manusia sebenarnya tidak lain dari kehendak Tuhan, kemauan dan kebebasan untuk berbuat adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia.

Al-Maturidi
Al-Maturidi menyebut bahwa kebebasan manusia dalam berbuat adalah daya yang diciptakan oleh manusia itu sendiri dan bahwa perbuatan  manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya, daya untuk berbuat tidak boleh tidak metilah daya manusia, karena orang tidak dapat memandang sesuatu perbuatan sebagai perbuatannya sendiri.

Mengenai soal kehendak, al Maturidi manusialah yang menentukan pemakaiannya, baik untuk kebaikan maupun untuk kejahatan. Karena salah atau benarnya seseorang dalam memakai daya dan kebebasannya maka manusia diberi hukuman atau upah. Manusia tentu tidak dapat mengadakan pilihan, kalau ia tidak bebas, tetapi berada di bawah paksaan daya yang lebih kuat dari dirinya.

Sungguhpun demikian, di dalam pendapat aliran maturidilah, baik golongan Samarkand maupun golongan Buhhara kemauan manusia adalah sebenarnya kemauan Tuhan. Ini berarti bahwa perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia.

D.   PERBEDAAN PANDANGAN TENTANG KEBEBASAN MANUSIA
Perbedaan pandangan dari aliran-aliran teologi Islam tentang kebebasan manusia dapat dilihat dari beberapa isi antara lain :

Sumber
Pada masa nabi dan Khulafaur Rasyidin bibit-bibit paham sudah tampak, tetapi belum menimbulkan perbincangan yang serius, karena nabi pernah menghentikan perbincangan masalah tersebut dan perbedaan bentuknya yang lebih  tegas dan jelas. Namun tidak demikian halnya pada zaman khalifah Bani Ummayah. Pada masa itu (tahun 70-an H) muncullah Ma’bad al Juhani yang berbicara tentang hururiyah al-iradah adalah (kemerdekaan kehendak/ kemauan) dan qurdah (kekuasaan/ kemampuan) yang dimiliki manusia sebagai anugerah dari Tuhan, untuk melakukan perbuatan. Bagi Ma’bad bahwa perbuatan manusia  adalah sungguh-sungguh perbuatan sendiri, bukan perbuatan Tuhan seru sekalian alam. Pandangan ini selanjutnya disebut paham qadariah. Menurut paham inilah bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.

Berbeda dengan paham qadariah, paham jabariah yang dibawah oleh Ja’ad bin Dirham dan disiarkan sungguh-sungguh oleh Jaham bin Shafwan pada awal abad kedua hijriah berpendapat bahwa karena Tuhan telah menakdirkan perbuatan manusia sejak awal dan pada hakikatnya manusia itu tidak memiliki kehendak dan qodrah. Oleh karena itu dari paham ini dapat disimpulkan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat dan berkehendak karena segala tindak tanduk dan gerak gerik manusia ditentukan oleh Tuhan.

Persepsi
Manusia  melakukan segala perbuatan baik  dan buruk, apakah ini kebebasan murni manusia tanpa campur tangan Tuhan ataukah atas kehendak Tuhan. Hal ini mengandung perbedaan pandangan dan persepsi dari beberapa aliran teologi Islam.

Paham al Maturidi misalnya mereka berpendapat  bahwa kebebasan di sini bukanlah kebebasan untuk berbuat sesuatu yang tidak disukai Tuhan. Dengan perkataan lain kebebasan kehendak manusia hanya merupakan kebebasan dalam memilih antara apa yang disukai dan apa yang tak disukai Tuhan. Kebebasan serupa ini lebih kecil dari kebebasan dalam menentukan kehendak yang terdapat dalam aliran mu’tazilah.

Perbedaan lain yang terdapat pada paham al-Maturidi dan Mu’tazilah ialah bahwa daya untuk berbuat diciptakan tidak sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatan yang bersangkutan. Daya yang demikian kelihatannya lebih kecil dari daya yang ada pada paham mu’tazilah. Oleh karena itu manusia dalam paham al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam paham dan persepsi mu’tazilah.

KESIMPULAN
  1. Sungguhpun beberapa paham dalam teologi Islam manusia bebas dalam kehendak dan berkuasa atas perbuatan-perbuatannya, pada dasarnya kebebasan itu terbatas. Ketertabatasan itu didasari oleh beberapa hal yang  tidak dapat dikuasai oleh manusia sendiri
  2. Kebebasan manusia sebenarnya dibatasi oleh hukum alam. Manusia tersusun antara lain dari materi. Materi adalah terbatas, dan mau tidak mau manusia sesuai dengan unsur materinya bersifat terbatas
  3. Kebebasan dan kekuasaan manusia sebenarnya terbatas dan terikat pada hukum alam. Kebebasan manusia itu hanyalah memilih hukum alam mana yang akan ditempuh dan diturutinya. Hukum alam pada hakikatnya merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan yang tidak dapat dilawan dan ditentang manusia.

E.    Tanggung Jawab
Manusia di dalam hidupnya disamping sebagai makhluk Tuhan, makhluk individu, juga merupakan makhluk sosial. Di mana dalam kehidupannya di bebani tanggung jawab, mempunyai hak dan kewajiiban, dituntut pengabdian dan pengorbanan.

Tanggung jawab itu sendiri merupakan sifat yang mendasar dalam diri manusia. Selaras dengan fitrah. Tapi bisa juga tergeser oleh faktor eksternal. Setiap individu memiliki sifat ini. Ia akan semakin membaik bila kepribadian orang tersebut semakin meningkat. Ia akan selalu ada dalam diri manusia karena pada dasarnya setiap insan tidak bisa melepaskan diri dari kehidupan sekitar yang menunutut kepedulian dan tanggung jawab. Inilah yang menyebabkan frekwensi tanggung jawab masing-masing individu berbeda.

Tanggung jawab mempunyai kaitan yang sangat erat dengan perasaan. Yang kami maksud adalah perasaan nurani kita, hati kita, yang mempunyai pengaruh besar dalam mengarahkan sikap kita menuju hal positif. Nabi bersabda: "Mintalah petunjuk pada hati (nurani)mu."

Anda tentunya seringkali mendengar istilah TANGGUNG JAWAB, bukan? Makna dari istilah “tanggung jawab” adalah “siap menerima kewajiban atau tugas”. Arti tanggung jawab di atas semestinya sangat mudah untuk dimengerti oleh setiap orang. Tetapi jika kita diminta untuk melakukannya sesuai dengan definisi tanggung jawab tadi, maka seringkali masih merasa sulit, merasa keberatan, bahkan ada orang yang merasa tidak sanggup jika diberikan kepadanya suatu tanggung jawab. Kebanyakan orang mengelak bertanggung jawab, karena jauh lebih mudah untuk “menghindari” tanggung jawab, daripada “menerima” tanggung jawab.

Banyak orang mengelak bertanggung jawab, karena memang lebih mudah menggeser tanggung jawabnya, daripada berdiri dengan berani dan menyatakan dengan tegas bahwa, “Ini tanggung jawab saya!” Banyak orang yang sangat senang dengan melempar tanggung jawabnya ke pundak orang lain.

Oleh karena itulah muncul satu peribahasa, “lempar batu sembunyi tangan”. Sebuah peribahasa yang mengartikan seseorang yang tidak berani bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, sehingga dia membiarkan orang lain menanggung beban tanggung jawabnya. Bisa juga diartikan sebagai seseorang yang lepas tanggung jawab, dan suka mencari “kambing hitam” untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari perbuatannya yang merugikan orang lain.

Sebagian orang, karena tidak bisa memahami arti dari sebuah tanggung jawab; seringkali dalam kehidupannya sangat menyukai pembelaan diri dengan kata-kata, “Itu bukan salahku!” Sudah terlalu banyak orang yang dengan sia-sia, menghabiskan waktunya untuk menghindari tanggung jawab dengan jalan menyalahkan orang lain, daripada mau menerima tanggung jawab, dan dengan gagah berani menghadapi tantangan apapun di depannya.

Banyak kejadian di negara kita ini, yang disebabkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, malah sering dimenangkan atau diberikan bantuan berlebihan oleh lingkungannya dengan sangat tidak masuk akal. Sungguh sangat menyedihkan. Di masa kini, kita memiliki banyak orang yang mengelak bertanggung jawab; karena mereka ini mendapatkan keuntungan dari sikapnya itu. Dan gilanya, “lepas tanggung jawab” itu sering didukung oleh lingkungan dekatnya, teman-temannya, anak buahnya, atasannya, anak kandungnya, bahkan didukung oleh istri atau suaminya. Anda bisa lihat, misalnya, korupsi, dan manipulasi. Sebagian besar orang-orang di lingkungan dekatnya pasti mendukungnya, karena mereka semua pasti ikut merasakan hasil-hasil dari korupsi atau manipulasi itu. Apakah dunia kita ini sudah dekat dengan kiamat?
Cobalah kita pahami, kalimat mulia berkaitan dengan tanggung jawab, di bawah ini:
“Setiap orang dari kamu adalah pemimpin, dan kamu bertanggung jawab atas kepemimpinan itu”. (Al-Hadits, Shahih Bukhari – Muslim)
“Anda tidak bisa lari dari tanggung jawab hari esok dengan menghindarinya pada hari ini”. (Abraham Lincoln)

F.    Pengertian Tanggung jawab

Tanggung jawab menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya.Tanggung jawab timbul karena telah diterima wewenang. Tanggung jawab juga membentuk hubungan tertentu antara pemberi wewenang dan penerima wewenang. Jadi tanggung jawab seimbang dengan wewenang.

Sedangkan menurut WJS. Poerwodarminto, tanggung jawab adalah sesuatu yang menjadi kewajiban (keharusan)untuk  dilaksanakan, dibalas dan sebagainya.

Dengan demikian kalau terjadi sesuatu maka seseorang yang dibebani tanggung jawab wajib menanggung segala sesuatunya. Oleh karena itu manusia yang bertanggung jawab adalah manisia yang dapat menyatakan diri sendiri bahwa tindakannya itu baik dalam arti menurut norma umum, sebab baik menurut seseorang belum tentu baik menurut pendapat orang lain.

Dengan kata lain, tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajibannya.

G.   Macam-macam Tanggung Jawab
a)     Tanggung jawab terhadap dirinya sendiri
manusia diciptakan oleh Tuhan mengalami periode lahir, hidup, kemudian mati. Agar manusia dalam hidupnya mempunyai “harga”, sebagai pengisi fase kehidupannya itu maka manusia tersebut atas namanya sendiri dibebani tanggung jawab. Sebab apabila tidak ada tanggung jawab terhadap dirinya sendiri maka tindakannnya tidak terkontrol lagi. Intinya dari masing-masing individu dituntut adanya tanggung jawab untuk melangsungkan hidupnya di dunia sebagai makhluk Tuhan.

b)   Tanggung jawab terhadap keluarga
Keluarga merupakan masyarakat kecil. Keluarga terdiri atas ayah-ibu, anak-anak, dan juga orang lain yang menjadi anggota keluarga. Tiap anggota keluarga wajib bertanggung jawab kepada keluarganya. Tanggung jawab itu menyangkut nama baik keluarga. Tetapi tanggung jawab juga merupakan kesejahteraan, keselamatan, pendidikan, dan kehidupan. Untuk memenuhi tanggung jawab dalam keluarga kadang-kadang diperlukan pengorbanan.

c)    Tanggungjawabterhadapmasyarakat
Pada hakekatnya manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain, sesuai dengan kedudukanya sebagai makhluk sosial. Karena membutuhkan manusia lain, maka ia harus berkomunikasi dengan manusia lain tersebut. Sehingga dengan demikian manusia di sini merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti anggota masyarakat yang lain agar dapat melangsunggkan hidupnya dalam masyarakat tersebut. Wajarlah apabila semua tingkah laku dan perbuatannya harus dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.

d)     Tanggung jawab terhadap Bangsa / Negara
Suatu kenyataan lagi bahwa setiap manusia, setiap individu adalah warga negara suatu negara. Dalam berfikir, berbuat, bertindak, bertingkahlaku manusia terikat oleh norma-norma atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh negara. Manusia tidak bisa berbuat semaunya sendiri. Bila perbuatan manusia itu salah, maka ia harus bertanggung jawabkan kepada negara.

e)    Tanggung jawab terhadap Tuhan
Tuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa tanggung jawabmelainkan untuk mengisi kehidupannya. Manusia mempunyai tanggung jawab langsung kepada Tuhan. Sehingga tindakan manusia tidak bisa lepas dari hukum-hukum Tuhan yang dituangkan dalam berbagai kitab suci melalui berbagai macam agama. Pelanggaran dari hukum-hukum tersebut akan segera diperingatkan oleh Tuhan dan jika dengan peringatan yang keraspun manusia masih juga tidak menghiraukan, maka Tuhan akan melakukan kutukan. Sebab dengan mengabaikan perintah-perintah Tuhan berarti mereka meninggalkan tanggung jawab yang seharusnya dilakukan manusia terhadap Tuhan sebagai Penciptanya, bahkan untuk memenuhi tanggung jawabnya, manusia perlu pengorbanan.

KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa tanggung jawab dalam konteks pergaulan manusia adalah suatu keberanian. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang berani menanggung resiko atas segala hal yang menjadi tanggung jawabnya. Ia jujur terhadap dirinya dan jujur terhadap orang lain, adil, bijaksana, tidak pengecut dan mandiri. Dengan rasa tanggung jawab, orang yang bersangkutan akan selalu berusaha memenuhi kewajibannya melalui seluruh potensi dirinya. Orang yang bertanggung jawab adalah orang mau berkorban untuk kepentingan orang lain ataupun orang banyak.

Orang yang bertanggung jawab dapat memperoleh kebahagiaan, sebab ia dapat menunaikan kewajibannya dengan baik. Kebahagiaan tersebut dapat dirasakan oleh dirinya sendiri ataupun oleh orang lain/banyak. Sebaliknya orang yang tidak bertanggung jawab akan menghadapai kesulitan, sebab ia tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik dan tentunya tidak mengikuti aturan, norma serta nilai-nilai yang berlaku.
  
H.   HATI NURANI
Perasaan manusia yang paling mendalam biasanya disebut dengan kata hati, atau hati nurani. Nurani berasal dari kata Arab nur (nuraniyyun) yang artinya cahaya. Jadi hati nurani dapat disebut sebagai cahaya hati, atau lubuk hati yang terdalam.

Dalam al-Qur’an, nurani atau kata hati disebut dengan kata bashirah yang dapat diterjemahkan dalam pandangan mata hati (QS. 75 : 15) sebagai lawan dari pandangan mata. Jika qalbu yang memiliki karakter tidak konsisten itu masih dapat menipu diri dan pura-pura tidak tahu, maka nurani tetap jujur dan peka.

Nurani yang terpelihara, ibarat cermin yang bersih, yang dapat menampakan wajah apa adanya. Orang yang sering melakukan kejahatan, nuraninya bagaikan cermin yang tersiram cairan hitam sehingga hanya sedikit saja yang menampakan wajah asli pemiliknya, sedangkan orang yang melakukan kejahatan secara terbuka sebagaimana ia melakukan kebaikan (mencampur adukan kebaikan dan kejahatan) cermin nuraninya retak sehingga tidak mampu menampakan wajah pemiliknya seperti apa adanya. Jadi, jika nafs digambarkan seperti ruang yang luas di dalam diri manusia, dan qalbu merupakan kamar kecil di dalam ruang itu, maka nurani merupakan kotak kecil yang tersembunyi secara rapih dan kuat di dalam kamar qalbu.

Dalam ilmu tasawuf, nurani disebut sebagai nurun yaqdzifuhullloh fi al qalbi, yakni cahaya yang ditempatkan Tuhan di dalam hati atau cahaya ketuhanan, oleh karena itu nurani tidak bisa kompromi dengan kebohongan atau kejahatan. Karena nurani itu cahaya, maka efektifitasnya bergantung apakah terbuka atau tertutup. Cahaya nurani dapat tertutup oleh keserakahan dan perbuatan maksiat. Jika cahaya nurani tertutup maka orang itu seperti berjalan di tempat gelap, salah ambil, salah masuk, salah taroh dan sebagainya.

Orang serakah misalnya, sudah pangkatnya tertinggi dan penghasilannya terbanyak, masih juga menyikat jatah anak buahnya, kenapa? karena ia dalam kegelapan. Orang yang biasa berbuat maksiat maka iapun tidak bisa membedakan mana kamar isteri dan mana kamar pembantu, kenapa ? yak karena kegelapan.

Menurut bahasa, kata nurani berasal dari kata nuurun dan ainii  berarti cahaya mata saya. Menurut Istilah, yaitu partikel kecil (microchip) hidayah yang diamanatkan oleh Allah. Dengannya secara fitrah, manusia bisa mengenali dirinya dan Tuhannya. Mengetahui yang benar dan yang salah. Rasulullah Saw bersabda, “Mintalah fatwa dari hati nurani kita, kebenaran adalah apabila nurani dan jiwamu tenang terhadapnya sementara dosa apabila hati mu gelisah” (HR.Ahmad).

Ini tentunya terjadi apabila hati nurani berfungsi dengan baik, dalam keadaan hidup dan sehat. Ketika kita berbohong dengan orang lain misalnya, bisa jadi manusia tidak pernah tahu tentang kebohongn kita tetapi nurani sehat kita akan melahirkan perasaan bersalah dan tertekan karena dosa tersebut. Rasulullah Saw mendefiniskan dosa sebagai "sesuatu yang akan  menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dan tertekan dalam hati. Di samping itu, pelakunya tidak menyukai orang lain tahu perbuatan tersebut." Artinya, nurani kita akan menolak saat kita hendak melakukan perbuatan dosa sekecil apapun.

Nurani dalam diri manusia berfungsi sebagai kotak hitam (black box) untuk merekam segala cerita dan kejadian hidup. Dimensi waktunya mencakup waktu dulu dan yang sedang terjadi sekarang. Selain itu nurani berfungsi sebagai ‘radar’ untuk mendeteksi pengaruh baik dan buruk yang datang dari dalam maupun luar diri manusia, yang kemudian disesuaikan dengan mengikuti fitrahnya, yaitu menerima kebenaran dari Allah.

Semua kejadian bisa diingat oleh hati nurani, karena hati nuranilah yang kelak akan menjadi saksi di hadapan Allah. Firman Allah: “Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada”(QS. al-Adiyat: 9 -10). Jadi, hati nurani memiliki nuur (ber-cahaya), tidak menyilaukan tapi memberi penerangan sebagai petunjuk.
Oleh karena itu, ketika hati nurani dibelenggu hawa nafsu, hati nurani bisa kehilangan ruh-nya, cahayanya semakin pudar sehingga pada akhirnya tidak dapat membedakan halal dan haram. Dalam keadaan seperti itu, manusia disebut buta yang sebenar-benarnya karena mata jika tertutup menjadi gelap tidak tahu halal dan haram. Orang yang secara lahiriyah tidak dapat melihat tapi mata hatinya bening maka ia lebih baik dari orang yang buta mata hati. Oleh karena itu buta yang sebenarnya adalah buta adalah buta mata hati (hati nurani) bukan buta mata kepala (Lihat: QS. al-Hajj [22]: 46).

Nurani ada dalam ranah spiritual, kematian nurani merupakan krisis spiritual. Beberapa ahli psikologi menyebutkan fenomena ini dengan beberapa istilah, seperti spritual alienation(keengganan spirtual), spiritual illness(penyakit hati), spiritual emergency (krisis spiritual). Krisis spiritual berlanjut pada eksistensi diri sebagaimana disebut Carl Gustav Jung sebagai existensial liness(krisis eksistensi). Semua ini bermuara pada semakin lemahnya kecenderungan dan kemampuan manusia dalam mengenal Tuhannya dengan segala perintah dan larangan-Nya. Dalam bahasa sederhana, bisa dikatakan sebagai proses lemahnya iman kepada Tuhan. Inilah sebenarnya pemasalahan kita semua yang telah melahirkan berbagai krisis.

Iman adalah kata kunci dalam setiap permasalahan nurani dan spritualitas. Karena iman bagi spritualitas adalah ibarat air bagi tanaman. Sementara spiritualitas yang sehat dengan iman yang kuat dan benar akan menghidupkan nurani.
Iman yang bagaimana? Tentu saja bukan sekadar mengimani bahwa Tuhan itu ada. Iman dalam arti taat dan patuh pada tuntunan Allah dan Rasul-Nya dan bisa menjadi kontrol bagi perilakunya. Rasulullah Saw bersabda, “Apabila Allah mencintai seseorang hamba, Dia menjadikan baginya pemberi nasehat dari jiwanya dan pengingat dari hatinya yang memerintahnya dan melarangnya” (HR. Ahmad). Itulah nurani yang hidup dengan iman. Iman akan tetap terjaga dalam hati dengan menghidupkan rasa muraqabatullah (perasaan selalu diawasi Allah). Sebuah rasa yang lahir dari keyakinan bahwa tidak ada satupun di alam semesta ini yang luput dari ilmu Allah. “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dilangit dan apa yang ada dibumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tidak ada (pembicaraan antara) lima orang melainkan Dia-lah yang keenam” (QS.Al-Mujaadalah: 7).
Pengawasan melekat inilah kontrol yang paling efektif. Dan perlu diketahui bahwa manusia bukanlah malaikat yang suci dari perbuatan dosa. Orang beriman dan hati nuraninya hidup bukanlah orang suci yang tidak pernah terbersit dalam hati niat salah atau jahat. Manusia adalah makhluk yang mempunyai nuarani tapi juga hawa nafsu. Dan orang yang beriman adalah orang yang bisa mengontrol perilakunya dari terjerumus dalam lembah dosa dan kenistaan. Firman Allah dalam surah Ali-Imran ayat: 135: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau zalim, mereka ingat Allah, lalu memohon ampun  terhadap dosa-dosanya dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa mereka sedang mereka mengetahui.
Apabila kita mau mendengar suara dan bisikan nurani, maka hidup kita akan penuh hidayah, rahmah, maghfirah, dan makrifat. Oleh karena itu, marilah kita pelihara hati nurani kita dengan baik sesuai dengan sunnatullah dan fitrahnya sebagai wujud rasa syukur atas karunia terindah yang Allah anugerahkan tersebut, dan memohon perlindungan dari Yang Maha Kuat, Allah Swt. Wallahu A'lam.

I.      Hubungan kebebasan, hati nurani dan akhlak.
Suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai perbuatan akhlaki atau perbuatan yang dapat di nilai berakhlak, apabila perbuatan tersebut di lakukan atas kemauan dan kesadaran sendiri bukan karena paksaan dan bukan pula di buat-buat dan di lakukan dengan tulus ikhlas.
Dengan demikian perbuatan yang berakhlak itu ialah perbutan yang di lakukan dengan sengaja secara bebas. Selanjutnya perbuatan akhlak juga harus dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan karena paksaan. Perbuatan seperti inilah yang dapat dimintai pertanggung jawabannya dari orang yang melakukannya.dengan demikian kita dapat melihat pentingnya hubungan tanggung jawab dengan akhlak.

KESIMPULAN
Perbuatan seseorang akan bermakna apabila yang bersangkutan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, maka kesimpulanya adalah orang yang dapat dimintai tanggung jawab adalah orang yang memiliki kebebasan. Tak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan. Disinilah letak hubungan tanggung jawab dan kebebasan. Dengan demikian tanggung jawab dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik.
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan. Karena sifatnya yang demikian maka hati nurani harus menjadi salah satu pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak membelenggu hati nuraninya.
Perbuatan berakhlak adalah perbuatan yang dilakukan secara sengaja dan bebas. Disinilah letak hubungan akhlak dan kebebasan. Akhlak juga harus dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan paksaan. Perbuatan seperti ini disebut perbuatan yang bertanggung jawab. Disinilah letak hubungan akhlak dan tanggung jawab. Terakhir, Perbuatan akhlak juga harus muncul dari keikhlasan hati yag melakukanya dan dapat dipertanggung jawabkan kepada hati sanubari, maka disinilah hubungan akhlak dan hati nurani.
Maka dapat di simpulkan bahwa kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani adalah merupakan factor-faktor dominan yang menentukan suatu perbuatan dapat di katakan sebagai perbuatan akhlak.



Referensi





0 Response to "KEBEBASAN, TANGGUNG JAWAB DAN HATI NURANI"