Latest News

SKRIPSI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE)

(KODE : ILMU-HKM-0145) : SKRIPSI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dampak globalisasi menciptakan dunia usaha semakin kompetitif, kosmopolit (kesejagatan) dan munculnya berbagai macam inovasi baru. Aspek globalisasi yang mendatangkan perhatian cukup besar dari para pakar adalah apa yang berkaitan dengan globalisasi ekonomi, karena pentingnya ekonomi di masa kita sekarang ini dan pengaruhnya terhadap politik nasional, dan internasional. Dampak globalisasi terhadap ekonomi sangat jelas dapat dilihat oleh semua orang yang pengaruhnya sangat dirasakan oleh produsen, konsumen, pasar dan distributor.
Untuk mengantisipasi kondisi yang demikian, salah satu upaya yang ditempuh manusia adalah dengan bekerja dan berusaha. Bekerja dan berusaha, termasuk berwirausaha, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ajaran Islam, karena keberadaannya sebagai khalifah di bumi dan membawanya ke arah yang lebih baik. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Hud (11) ayat 61 : 
Artinya : “Dia (Allah) telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya". (QS. Hud 11. Ayat : 61)
Islam telah mengatur ekonomi secara spesifik. Hal ini dimaksudkan agar umatnya dapat melakukan kegiatan ekonomi tidak keluar dari aturan-aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT. Bentuk dan jenis kegiatan ini bermacam-macam, diantaranya jual beli (bai'), gadai (rahn), perseroan dagang (syirkah), pinjam-meminjam ('ariyah), penggarapan tanah (muzaro'ah dan mukhabaroh) dan sebagainya. Islam membebaskan kepada pemeluknya untuk melakukan kerja sesuai dengan minat dan bakatnya, atau sesuai dengan keahliannya, namun juga harus dalam koridor hukum dan aturan yang telah ditetapkan.
Bentuk dari kerja dan usaha manusia baik perseorangan maupun kelompok dan kelembagaan adalah salah satunya dengan mengadakan kerjasama atau kemitraan (musyarakah) dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam menjalankan perusahaan.
Sedemikian pentingnya kerjasama di dunia global itu, hingga tidak ada lagi orang, lembaga atau perusahaan yang berhasil dengan bekerja sendiri tanpa bekerja sama dengan pihak lain. Namun perlu disadari bahwa kerjasama baru bisa mendatangkan keuntungan, kemajuan, dan keselamatan bagi kedua belah pihak, bila keduanya menjalankan hak dan kewajibannya dalam kerjasama itu, di samping adanya komitmen yang tinggi dalam memelihara kerjasama yang telah terjalin.
Dalam melakukan suatu usaha tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, apalagi untuk meraih kesuksesan, perlu adanya proses yang panjang di samping dibutuhkan keuletan, kesabaran dan lain sebagainya. Banyak perusahaan yang pailit bahkan gulung tikar oleh sebab pemilik perusahaan yang tidak memilki semangat bertahan (survive) dan keuletan terhadap rintangan dan derasnya persaingan bisnis, serta kurangnya kesabaran dalam menghadapi dan menyikapi segala hal yang mungkin atau bahkan sering terjadi dalam berbisnis, seperti sikap terhadap beraneka ragam perilaku konsumen yang tidak selalu menyenangkan hati, promosi yang tidak efektif, mitra bisnis yang bermasalah dan sebagainya. Intinya semua itu membutuhkan sikap-sikap positif untuk menghadapi segala permasalahan yang muncul dalam berbisnis. Namun demikian ada banyak perusahaan yang berkembang pesat baik dalam skala nasional maupun internasional. Meskipun tingkat persaingan usaha semakin lama semakin ketat, namun selalu ditemukan perusahaan-perusahaan baru yang bergerak di berbagai bidang usaha seperti jasa, transportasi, rumah makan, dan lainnya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang sedang melakukan ekspansi dalam dan luar negeri.
Tingkat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu perusahan tidak bisa lepas dari berbagai macam faktor yang mempengaruhinya. Di antara faktor yang banyak itu dapat dikelompokkan ke dalam dua faktor besar yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal misalnya produk atau jasa yang ditawarkan, sumber day a manusia termasuk sikap mental pengusaha dan pekerjanya, finansial, alam dan lainnya yang dimiliki. Sedangkan faktor eksternal adalah besarnya pasar, perkembangan ekonomi, sosial, politik (lokal maupun global), tingkat persaingan dan sebagainya.
Salah satu faktor yang sangat berpengaruh dan mutlak diperlukan adalah seberapa besar jaringan (network) yang dimiliki oleh perusahaan (katakan kalau itu adalah sebuah perusahaan). Secara sederhana bisa kita ibaratkan sebuah jaringan usaha adalah jaring laba-laba. Semakin besar jaring laba-laba, maka kemungkinan mendapatkan tangkapan (mangsa) juga lebih besar. Demikian juga jika semakin besar jaringan (network) yang dimiliki oleh sebuah perusahaan maka kemungkinan untuk sukses lebih besar, karena peluang dan kesempatan akan jauh lebih terbuka. Dapat dicontohkan apabila Seorang pengusaha memiliki relasi bisnis maupun non-bisnis seperti pejabat, politisi, hakim, pengacara dan lain-lain kemungkinan akan sukses semakin besar. Relasi bisnis berguna untuk mengembangkan bisnisnya sehingga perusahaan akan semakin besar dan bonafid. Perusahaan juga kemungkinan akan menghadapi persoalan-persoalan yang menyangkut hukum, pembebasan tanah, sengketa, dan kasus lain yang -tanpa melihat tendensi baik atau buruknya cara yang digunakan -membutuhkan orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Dengan memiliki relasi di berbagai bidang, maka dengan lebih mudah seorang pengusaha melancarkan usahanya menuju kesuksesan.
Bagi usaha kecil yang mempunyai modal mepet, membutuhkan lompatan besar untuk menjadi besar. Dengan mengadakan kerjasama atau membuat network dengan orang lain atau badan usaha lain tentu persoalan modal atau dana akan lebih terbantu.
Salah satu bentuk kerjasama yang populer di era sekarang ini adalah bentuk kerjasama yang sering disebut dengan franchising/ waralaba. Usaha kecil kadangkala dapat tumbuh melalui suatu kinerja yang dikenal sebagai franchise. Dalam pengaturannya, perusahaan yang berhasil memberi wewenang kepada seseorang atau sekelompok kecil usahawan untuk menggunakan namanya dan produknya, dengan pertukaran sejumlah prosentase keuntungan hasil penjualannya. Perusahaan pendiri meminjamkan ahli-ahli penjualan dan reputasinya, sedangkan usahawan yang menerima bantuan waralaba ini mengusahakan outlet-nya secara individu, dan menanggung urusan keuangan dan resiko saat melakukan ekspansi.
Meskipun memasuki usaha waralaba agak lebih mahal dibanding memulai usaha sejak dari awal, tetapi biaya operasional waralaba lebih kecil dan kemungkinan gagal juga lebih kecil. Hal ini karena sebagian keuntungan skala ekonomi yang diperoleh waralaba, berasal dari periklanan, distribusi dan pelatihan. Di samping itu juga terdapat beberapa mitos, bahwa orang yang memasuki dunia bisnis waralaba akan sukses, karena bisnis ini adalah bisnis yang aman, penerima waralaba berada dalam bisnisnya sendiri dan senantiasa didukung oleh pemberi waralaba.
Waralaba memang sedemikian kompleks, dan jauh bertebaran sehingga orang tidak mempunyai gambaran yang tepat mengenai usaha ini. Di Amerika Serikat diperkirakan ada sekitar 535.000 usaha waralaba pada tahun 1992, termasuk dealer mobil, pom bensin, restoran, real estate, hotel dan motel serta usaha laundry. Ini meningkat 35 persen dibanding tahun 1970. Kenaikan penjualan outlet waralaba antara tahun 1975 dan tahun 1990 jauh melampaui outlet yang non-waralaba, dan bisnis waralaba diduga menyerap sekitar 40 persen angka penjualan ritel di Amerika Serikat pada tahun 2000.
Directory Franchise Indonesia yang diterbitkan oleh Asosiasi 10 Franchise Indonesia (2002) mengungkapkan; bahwa di Indonesia sampai Mi 2001 terdapat 230 waralaba asing dan 42 waralaba local, dengan perbandingan 5 : 1. Pada tahun sekarang dan akan datang diperkirakan bisnis sistem franchise/waralaba juga akan semakin banyak. Perusahaan lokal sampai perusahaan asing berebut untuk mencari pangsa pasar di negeri kita ini. Kita mengenal adanya Mc Donald, Pizza Hut, Coca - Cola, Kentucky Fried Chicken, CFC, Es lilin 77, Indomaret, dan tidak ketinggalan adalah Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo. Semua bentuk usaha di atas adalah menerapkan sistem franchise/waralaba.
Ada banyak cara untuk membuka usaha, ada banyak pula jalan dan strategi yang bisa ditempuh para pengusaha supaya bisnisnya bisa bergulir. Bisa dengan cara konvensional, yakni mengembangkan usaha sendiri tanpa perlu melakukan perkongsian, yang penting bisa mengaktualisasikan jiwa kewirausahaannya. Seperti halnya mahasiswa yang ingin menambah uang sakunya dengan cara jualan nasi kucing di malam hari, atau jualan buku di kampus ketika ada momen -momen tertentu. Ada juga orang yang membuat toko di rumahnya dan berjualan barang-barang kelontong. Semuanya itu adalah contoh bisnis dengan cara konvensional.
Bisnis menjual nama besar perusahaan atau merek yang sukses, rupanya cukup ampuh menggoda para pelaku bisnis untuk memilih model waralaba. Pihak pemilik merek (franchisor) tidak perlu repot-repot menyediakan modal untuk ekspansi. Sementara, pihak yang memakai merek (franchisee) juga tidak perlu kerja keras membangun merek yang biasanya memakan waktu cukup lama dan biaya yang relatif besar. Bisa dibayangkan apabila memasang iklan di TV, dalam durasi sekian detik saja memakan biaya ratusan bahkan miliaran rupiah. Belum lagi sosialisasi kepada masyarakat tentang produknya itu tentu tidak hanya satu atau dua kali, tetapi harus berulang kali dan terus - menerus agar mendapatkan tempat tersendiri di hati masyarakat. Dengan mengadakan kerjasama melalui bisnis waralaba, maka pihak franchisor akan berkewajiban mensosialisasikan produknya sehingga pihak franchisee tidak perlu bersusah payah untuk bersosialisasi. Jadi di sini dapat dilihat bahwa antara keduanya terjadi hubungan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).
Waralaba sebenarnya adalah bagian dari strategi marketing seperti halnya retailing, multilevel marketing, direct selling, dan sebagainya, yang semuanya bertujuan untuk memperluas jaringan usaha. Ada benang merah yang membedakan antara waralaba dengan strategi marketing lainnya, yaitu terdapat mekanisme hubungan kemitraan yang berdasarkan pada prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan.
Rumah Makan "Ayam Bakar Wong Solo" merupakan salah satu dari sekian banyak perusahaan lokal yang menerapkan sistem Waralaba. Ketertarikan Puspo Wardoyo sebagai pendiri Rumah Makan Wong Solo ini tak lepas dari prospek warung makannya yang semakin diminati oleh konsumen dan keinginannya untuk mendirikan cabang, bukan hanya di kota Medan, melainkan juga di kota-kota lain. Karena hal ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, maka Puspo melirik bisnis waralaba, dan ternyata setelah beberapa tahun, bisnisnya semakin melaju pesat. Ada sekitar 40 outlet lebih tersebar di Indonesia bahkan di luar negeri. Keberadaannya yang semakin berkembang, tentunya tidak lepas dari dua faktor di atas, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.
Ada faktor yang sangat penting dalam hubungannya dengan mengadakan bisnis waralaba ini, yaitu akad perjanjian. Sebenarnya akad perjanjian ini tidak hanya terdapat dalam bisnis waralaba saja, melainkan harus ada dalam setiap kerjasama (bisnis). Harus ada kesepakatan yang jelas antara para pihak agar tidak terjadi perselisihan atau tindakan wanprestasi yang dapat merugikan salah satu pihak.
Pengalaman menunjukkan banyak sekali kerjasama yang telah membawa pelakunya menuju kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat. Namun banyak pula kerja sama yang hanya menguntungkan sebelah pihak dan menekan pihak lain, jika bukannya akan menghancurkan keduanya. Itulah sebabnya masalah kerjasama, terutama dalam dunia perusahaan menjadi salah satu aspek yang sangat penting untuk dibicarakan dan dikaji secara mendalam.
Penulis, dalam hal ini, tertarik untuk membahas masalah perjanjian (akad), karena mau tidak mau, hal ini menjadi sangat penting demi kemaslahatan antar pihak yang melakukan kerjasama dan menghindarkan terjadinya ketidakadilan serta cacat hukum. Penulis memfokuskan kajian ini dan mengambil obyek bisnis waralaba Warung Makan "Ayam Bakar Wong Solo", yaitu perjanjian waralaba antara Puspo Wardoyo sebagai pemilik merek dagang dengan Dicky Margono Budi sebagai pembeli merek dagang. Penulis menitikberatkan permasalahan kerjasama ini ditinjau dari hukum Islam, melihat bahwa rumah makan "Wong Solo" menggunakan brand Islam untuk menilai produknya (halalan thayyiban) dan telah mengklaim dirinya menggunakan kaidah-kaidah Islam (syari'ah), diantaranya adalah Wong Solo wajib menginfakkan sepuluh persen dari hasil outlet untuk kepentingan umat, dan setiap outlet yang akan menjalankan operasinya setiap hari diawali dengan pemberian mau'idlah kepada karyawan, agar pengetahuan tentang agama lebih dimengerti dan betul-betul menjadi ciri khas "Wong Solo". Para karyawan wanitanya pun diharuskan memaki jilbab.
Ketika pertama kali penulis melakukan pra-riset di rumah makan "Wong Solo", penulis merasakan adanya hal yang cukup berbeda, mulai dari sambutan yang ramah, suasana yang Islami dan ruangan yang bernuansa jawa yang indah. Ini merupakan salah satu strategi dalam menarik konsumen dan upaya dakwah untuk mensosialisasikan islam melalui bisnis.
Di antara para pembeli waralaba "Wong Solo" adalah bukan semuanya berasal dari kalangan orang asing, artinya mereka sebelumnya tidak ada hubungan bahkan tidak kenal dengan Puspo ataupun "Wong Solo", tetapi ada kalangan yang berasal dari teman-teman beliau ketika kecil dulu. Bahkan ada sopir pribadi beliau yang ikut memiliki saham di outlet yang berada di Sragen.
Meskipun praktek bisnis waralaba telah berkembang pesat baik di dalam negeri maupun di luar negeri, namun dalam Islam sendiri belum ada kepastian hukum mengenai praktek waralaba yang dibolehkan, yang ada hanyalah mengkiyaskan dengan praktek bisnis yang telah dilakukan oleh rasul maupun yang disetujui oleh rasul, itu pun dalam kerangka yang amat sederhana, sedangkan sekarang ini muncul dan berkembang berbagai macam bisnis yang belum bahkan sama sekali berbeda dengan apa yang ada pada zaman dulu. Apalagi kalau berbicara masalah kontrak atau akad yang dibuat, tentu akan didapati bermacam-macam akad yang dibuat berdasarkan kepentingan masing-masing, meskipun telah ada peraturan negara yang mengaturnya. Namun sekali lagi itu hanya merupakan garis-garis besar yang perlu ditafsirkan lagi ketika berhadapan dengan dunia praktis.
Berpijak pada hal inilah penulis ingin mengetahui bagaimana praktek bisnis waralaba yang dijalankan oleh Wong Solo, serta bagaimanakah Hukum Islam melihat hal tersebut.

B. Rumusan masalah
Untuk membuat permasalahan menjadi lebih spesifik dan sesuai dengan titik tekan kajian, maka harus ada rumusan masalah yang benar-benar fokus. Ini dimaksudkan agar pembahasan dalam karya tulis ini, tidak melebar dari apa yang dikehendaki. Dari latar belakang yang telah disampaikan diatas, ada beberapa rumusan masalah yang bisa diambil : 
1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian bisnis Waralaba (Franchising) Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo dalam kaca mata Hukum Positif Indonesia ?
2. Bagaimana landasan hukum Islam terhadap konsep perjanjian bisnis waralaba (Franchising) yang dijalankan oleh Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo ?

C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan di atas, maka dalam menyusun skripsi ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai penulis, di antaranya sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui praktek pelaksanaan akad perjanjian bisnis Waralaba di Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo.
2. Untuk mengetahui landasan hukum konsep bisnis waralaba Pada Warung Makan Ayam Bakar Wong Solo.

D. Sistematika Penulisan
Sebagai jalan untuk memahami persoalan yang dikemukakan secara runtut atau sistematis maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut : 
Bab I terdiri dari Pendahuluan, Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, Telaah Pustaka dan, Sistematika Penulisan. 
Bab II yaitu tentang Teori Akad dalam Islam, yang terdiri dari sub bab : terminologi akad dan Dasar Hukumnya, Syarat dan Rukun Akad, obyek akad, tujuan akad, Hal yang Membatalkan Akad, Tinjauan Umum tentang Waralaba, dan Konsep Syirkah Sebagai Bentuk Awal dari Waralaba. 
Bab III yaitu membahas tentang Perjanjian Waralaba (Franchising) Rumah Makan Wong Solo, dengan sub bab profil Wong Solo dan Prosedur bisnis waralaba Wong Solo. 
Bab IV, penulis akan memaparkan Analisis Hukum Islam Terhadap Perjanjian Waralaba (Franchising) Rumah Makan Wong Solo. Di dalamnya akan dibahas tentang Pelaksanaan Perjanjian Wong Solo dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia dan Analisis Hukum Islam Terhadap Akad Bisnis Waralaba (Franchising) Rumah Makan Wong Solo serta Analisis Penerapan Hukum Islam Dalam Praktek Waralaba (Franchising) Rumah Makan Wong Solo. 
Bab V yang berisi Penutup, yang terdiri atas sub bab Kesimpulan, Saran-Saran dan Penutup.

0 Response to "SKRIPSI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERJANJIAN WARALABA (FRANCHISE)"